Beberapa saat lalu saya pernah membandingkan trust -atau kepercayaan- dengan gelembung sabun yang rapuh. Saya rasa analogi yang serupa dapat berlaku untuk harapan.
Harapan. Asa. Mimpi. Cita.
Pepatah berkata, gantungkan cita-citamu setinggi langit. Dan setinggi itulah harapan bertahta. Ketika mungkin tubuh kita, terkungkung oleh gravitasi bumi dan realita di permukaannya, hanya serpihan sisa-sisa semangat juang kita yang bisa menolak.
Harapan terbang jauh, meski sesungguhnya ia rapuh.
Karena ia ringan tak terbeban, tanpa atribut norma dan realita.
Maka angin menjadi kawan, setia mengantar hingga labuhnya.
Karena ia jernih, ia bersih, tak terkotori prasangka.
Maka tak ada perih tersaji, melalui lensanya.
Mungkin karena itu, sampai sekarang saya senang sekali melihat gelembung-gelembung sabun beterbangan. Terbawa angin ke berbagai penjuru.
Seolah-olah kumpulan harapan sedang bersiap-siap, berpasrah diri dibawa semesta kepada tempatnya.
Maka jangan salahkan saya jika mata ini tak berhenti berbinar setiap melihat penjual cairan gelembung sabun. Pun jika kemudian saya membelinya dan tak berhenti meniupkan gelembung hingga habis.
Ijinkan saya menitip doa kepada semesta, saya bisikkan perlahan ke dalam masing-masing gelembung. Mengajak angin bersekongkol dengan saya sembunyikan gelembung-gelembung itu ke penjuru dunia, berharap tak kunjung pecah dia seakan-akan abadi asa.