Waktu kecil dulu, saya selalu tidur dikelilingi buku. Karena Papa hobi berat membaca dan koleksi buku, jadilah kebiasaannya itu ditularkan dengan paksa ke anak-anaknya. Ya, tepatnya ke saya aja sih, karena adik saya memang dari dulu lebih suka main Lego dan Lasy daripada membaca. Pantes aja gedenya kuliah Teknik Mesin.
Anyway, dulu saya senang sekali karena jadwal jalan-jalan weekend kami selalu rutin : nonton di 21, makan, dan belanja buku di Gramedia. Setiap minggu kami punya jatah membeli 1 buku, dan boleh lebih kalau nilai ulangannya bagus. Kadang-kadang si Papa suka nakal juga, membelikan buku di tengah minggu kalau menurut dia ada yang perlu saya baca. Mungkin dia geregetan juga kalau saya terlalu sering beli komik serial cantik Jepang yang menye-menye.
Sayangnya, meskipun saya cinta buku, tapi saya nggak terlalu rapi menyimpan semua buku saya itu. Dan, karena Mama bukan maniak buku seperti saya, maka semua buku yang ada akan dimasukkan ke kardus tanpa pandang bulu kalau menurut dia kamar saya sudah terlalu berantakan oleh buku. Alhasil banyak buku favorit saya yang sekarang sudah entah dimana.
Salah satu hasil rekomendasi Papa yang saya suka sekali adalah Penyihir Cilik. Ceritanya sekarang saya sudah lupa-lupa ingat, tapi yang berkesan buat saya adalah karakter si Penyihir Cilik yang banyak akal dan pemberani. Sekilas serupa Matilda-nya Roald Dahl, yang juga salah satu buku favorit saya sampai sekarang. Reviewnya juga bisa dilihat disini.
Nah, buku Penyihir Cilik ini termasuk salah satu yang raib entah kemana. Ihiks.
Salah satu teman terdekat saya, juga punya penyesalan yang kurang lebih sama. Bedanya, dia kemudian tidak pantang menyerah untuk berburu buku-buku lama. Kalau saya kan pemalas alergi debu ya, jadi agak sulit kalau mau ke toko buku bekas. Alasaaaan…
Anyway, saya iseng dong menitipkan Penyihir Cilik ini, siapa tahu teman saya bisa menemukan harta karun di timbunan kertas lapuk. Dan betul ajaaaaaaahhhh lohhhh dia nemuuuuuu. Ih ya ampun bahagia bangeeeeet rasanya.
Bayangin ya, pulang malem dari kantor, capek minta ampun pasca hari yang hectic dan jalanan super macet, lalu disambut oleh paket warna coklat berisi secuplik kenangan masa kecil. SURGA.

Si Papa yang kebetulan lagi di rumah, jadi ikut excited sendiri menerima paket itu :
Papa : Itu kamu ada kiriman? Kirain buat Papa.
Me : Kan namanya Anditry.
Papa : Kirain salah tulis, sampe Papa telpon yang kirim.
Me : Makanya kasih nama anak jangan mirip-mirip nama sendiri Pa :p
Papa : Itu kan buku yang Papa pernah beliin kamu? Kenapa beli lagi?
Me : Abisnya yang dulu gatau dimana
Papa : Yang sekarang dirawat yah, jangan ilang lagi
Ih terus mau nangis jadinya, mendadak berasa ketampar. Sejak bisa cari uang sendiri, baru berasa kan kalau segala sesuatu itu mahal ya. Beli buku 30 ribu aja, sebenernya udah bisa makan enak 2 kali. Jadi kalau dulu Papa beliin buku-buku, sebenernya itu alokasi yang cukup besar dari jatah pengeluaran bulanan keluarga dong. Dulu waktu kecil sama sekali nggak terpikirkan hal seperti itu, jadi bukunya sama sekali nggak disimpan rapi. Sekarang mentang-mentang beli sendiri, baru deh sibuk rawatnya, disimpan-simpan rapi. Payah. Pffttt 😥
Tapi ya mau gimana lagi, untuk sekarang, mari kita anggap kesempatan kedua untuk memperbaiki kebiasaan. Toh kalaupun nanti bukunya sudah tidak mau dibaca lagi, akan lebih baik kalau kondisinya masih bagus ya supaya masih bisa dibaca oleh orang lain yang mungkin juga rindu memori masa kecilnya, atau disumbangkan kepada teman yang lebih membutuhkan.
Terima kasih Almari Deki, akan kujaga baik-baik si Penyihir Cilik kali ini 🙂
2 replies on “Membeli Memori di Almari Deki”
*pelukkk*
Deki jangan lupakan pesananku berikutnyaaaaah :p