First of all, buat teman-teman yang berpuasa, saya ucapkan selamat menjalankan ibadah puasa, semoga lancar dan puasanya dapat mengajak kita memberi makna baru pada syukur dan keseharian masing-masing.
Posting ini sebenarnya adalah puncak dari keresahan yang sudah lama menumpuk, dan dipicu oleh berita berikut yang saya peroleh dari tweet teman saya. Himbauan semacam ini bukan hal baru, sudah cukup sering nampaknya menjadi wacana setiap kali bulan puasa. Dan untungnya, sejauh ini saya rasa pemerintah masih cukup bijak untuk tidak menjadikan himbauan tersebut sebuah peraturan. Namun setiap kali wacana ini muncul, saya tidak bisa mengingkari munculnya keresahan saya pribadi.
Selalu atas nama toleransi dan menghormati yang beribadah. Saya bisa berikan banyak contoh bahwa terkadang negara ini bias, dimana toleransi dan rasa hormat terhadap ibadah hanya diberikan ke kelompok agama tertentu, namun bukan itu masalahnya disini.
Untuk saya pribadi, wacana seperti ini justru “menyentil” kedewasaan iman saya. Apa iya, saya mendadak akan batalin puasa cuma karena lihat ada es cendol dengan sirup warna merah kuning hijau di etalase toko? Apa iya, iman saya segitu ceteknya sampai karena lihat orang makan steak fresh from the grill terus saya ikutan makan sebelum waktunya?
Saya rasa tidak.
Kalau saya tidak salah – ini sepemahaman saya lho ya, mohon dikoreksi kalau salah – pada dasarnya Shaum itu adalah pengendalian diri. Bukan semata tidak makan, tidak minum, dan tidak ini itu, melainkan mengendalikan hawa nafsu. Yang artinya – kembali lagi ini sepemahaman saya – dengan kita mengurangi faktor “godaan” (kalau memang bisa disebut demikian), buat saya kok ya rasanya curang.
Hidup adalah pilihan. Begitupun beribadah. Hal sekecil apapun dalam keseharian kita adalah pilihan. Terkadang kita tahu itu pilihan yang salah atau dilarang, tapi toh kita pilih juga. Pada akhirnya tentu kita harus belajar untuk menerima konsekuensi dari pilihan tersebut. Bukankah begitu intinya menjadi manusia dewasa?
Ditambah lagi, penduduk Indonesia itu tidak semuanya beragama Islam, maka tidak semuanya menjalankan ibadah puasa. Di mana toleransi untuk mereka? Lalu apa kabar rejeki pemilik rumah makan?
Satu hal yang aneh di negara ini, seringkali kita salah mengidentifikasi pokok permasalahan. Lebih suka yang kuratif daripada preventif.
Kalau sampai orang-orang begitu mudahnya tergoda untuk tidak berpuasa cuma karena lihat rumah makan, maka jelas yang salah bukanlah rumah makannya melainkan pemahaman orang tersebut tentang ibadah puasa. Kalau mau mencegah, perbaiki pemahaman tersebut melalui pendidikan agama yang benar. Pemahaman konsep yang bukan semata ritual kosong.
But then again, agama buat saya adalah ranah pribadi. And it begins at home.
Dan maka itu, semoga wacana ini selamanya cuma sebatas himbauan, bukan peraturan. Demi kedewasaan iman anak-anak saya nanti, dan demi kemampuan mereka mewujudkan toleransi sebenar-benarnya tanpa bias.
Amin.