Alkisah saya punya teori : dalam sekumpulan anak muda bergender sama (baca : GENG …..halah geeeng), biasanya selalu ada atribut tertentu yang dijadikan alat diferensiasi antara mereka. There’s always the goodlooking one, the smart one, endeblablabla (gw sengaja mengabaikan atribut fisik karena menurut gw nggak proper)… and there’s always the funny one.
Nah, di zaman kuliah ketika hampir separo teman satu geng masuk kategori the pretty one(s) dan satu manusia edan dengan IPK 3.9 sudah barang tentu memegang tampuk the smart one… maka by default saya menjadi the (semoga) funny one. Dan lagipula menurut gw, adalah lebih prestisius menjadi the funny one, karena tidak seperti the pretty ones & the smart ones yang hasil dari berkah ketiban gen bagus (…masukkan nada sirik disini…), being funny is a skill. Or at least so I thought. So I took pride in being the funny one.
Dan kayaknya memang itu modal utama gw berinteraksi sama orang, berhubung telanjur dibekali muka kurang ramah dan nada bicara yang lebih nggak ramah lagi. Pun dalam hubungan-hubungan gw sama significant others yang berbeda gender (halaaaah, bilang aja pacar), becandaan dan lawakan yang nyambung itu jadi kriteria yang cukup utama. Karena gw mikir yah, kalau misalnya itu hubungan lanjut terus sampai menikah, yang artinya gw akan menghabiskan 50++ tahun sama satu manusia yang itu-itu aja, gw nggak kebayang kalau harus melalui itu semua tanpa ketawa. It’s those precious moments when you see something that makes you want to laugh, and you automatically search for another pair of knowing eyes in the room, and you look at each other and laugh together in your heads. Precious.
Maka… betapa hancurnya hati gw pagi ini, ketika ternyata LAWAKAN GW GAGAL MEMBUAT SI ABANG KETAWA. Sungguh awal yang teruk, ibarat kata turun angkot pake kaki kanan abis itu udah kelar aja langkah lo berikutnya. Jatoh udah mood.
Tapi bukan and.i.try namanya kalau berhenti berusaha semudah itu.
Menurut gw humor berkualitas ditentukan oleh content. Content harus relevan buat audience, tinggal dikasih punchline yang nggak terduga tapi masih masuk akal. Ketika content gagal, back up plannya adalah :
- Ajak audience mentertawakan diri anda (karena buat saya tertawakanlah diri sendiri daripada keburu ditertawakan orang lain, minimal kita jadi punya kendali aspek apa yang dijadikan bulan-bulanan dari diri kita… ya ya ya, i’m an insecure control freak but so what)
- When all else fails, go slapstick
Berhubung entah kenapa belakangan ini gw desperado karena merasa mulai nggak lucu, maka gw menggabungkan keduanya. Pluuussss kebetulan lagi sebel sama hasil blow salon yang sama sekali nggak nolong bad hair day pagi ini. Jadi gw kirim lah tu foto rambut ala Rakhee Punjabi. Ndilalah, masnya ketawa. Sial. Terus sekarang bingung harus seneng apa sedih. I guess, I’ve got this dry cynical kind of humor, which thrives when i’m slightly unhappy. It thrives on existentialism angst. And since I’m fairly happy with my current state of being… well then… better find another approach to being funny.
Yakinlah masnya, ini akan menjadi lawakan slapstick saya yang …bukan yang pertamaaa tapi pasti yang terakhir… (masukkan nada bossas & suara mus mujiono di sini… )