
Dulu jaman masih SD, saya demen bener nonton kartun Born to Cook. Tokoh utamanya Yoichi, si anak cita rasa membuat saya terkagum-kagum karena beberapa alasan :
- Kenapa namanya harus dikasih embel-embel “anak cita rasa”… apakah dia anaknya ibu Cita sama pak Rasa? apakah dia anak yang citanya penuh rasa? apakah tidak terlalu panjang untuk ditulis di akte kelahirannya? sungguh misterius…
- Kenapa semua makanan yang dia bikin terlihat sungguh amat sangat seolah-olah enaaaakkkkk… ini sih sebenernya efek dari ilustrasi animasi yang super lebay, dimana orang-orang yang makan masakan si Yoichi anak cita rasa ini bisa mendadak nangis-nangis terharu, mendadak punya sayap dan terbang ke atas pelangi saking enaknya itu makanan.
Jadi demikianlah, awal kisah cinta saya dengan dunia masak-memasak.
Tapi seperti kita tahu yang namanya kisah cinta gak selalu mulus. Seperti kisah cinta saya pada umumnya, pada awalnya saya bertepuk sebelah tangan (eh?)… Prosedur goreng sosis saya di usia sekitar 9 tahun adalah : berdiri sekitar 1 meter dari kompor, sambil komatkamit berdoa semoga suatu hari nanti ada yang menemukan cara membuat sosis matang tanpa harus digoreng, lalu melempar (yak anda tidak salah baca, ME LEM PAR) satu persatu potongan sosis ke dalam wajan sambil siap2 lari kalau ada cipratan minyak panas (yang PASTI nyiprat karena sosisnya dilempaaar).
Semakin ke sini, saya akhirnya berdamai dengan wajan panas (meskipun tetap tidak bisa berdamai dengan ocha panas sushi tei -___________-” ) …tapi sayangnya masih belum cukup rukun dengan berbagai resep yang ada di dunia ini.
Meskipun cukup sukses dengan pancake, cupcakes dan pasta aglio olio; tp pernah juga terdapat beberapa insiden mengerikan yang melibatkan :
- sepotong roti dan adonan telur campur kopi
- selai apel dan sari lemon
dan…mmm…masih banyak lagi. Tidak perlu dijabarkan secara detil lah ya, mungkin cukup saya jelaskan bahwa insiden tersebut sempat membuat keluarga saya (semakin) meragukan hasil masakan saya.
Nah sekarang coba bandingkan dengan tuyul-tuyul sialan yang ada di acara Junior Masterchef Australia. Bocah-bocah ini, berumur antara 9-12 tahun, dan sudah paham apa itu truffle serta bagaimana cara memasaknya. Mereka tahu bagian daging mana yang enak untuk masakan jenis tertentu. Bahkaaan mereka bisa bersihin ikannnn. Oh. May. Gat. Dunia sungguh tak adil.
Tapi selain makanan-makanan super enak yang membuat saya berkali-kali menelan ludah, ada satu hal lagi yang membuat saya sangat menikmati acara ini. Berbeda dengan versi dewasanya yang sangat tegang, serius dan penuh intrik, versi juniornya terasa lebih jujur dan joyful. Meskipun sebenarnya mereka bersaing dengan satu sama lain, tapi anak-anak ini sangat sportif. Di tengah gentingnya detik-detik menjelang tenggat penyajian masakan, mereka sempat-sempatnya bilang “cmon you can do it” ke temannya yang masih rempong dengan masakannya. Dan mereka nggak segan-segan bilang “great job” ke kawan yang dipuji oleh para juri. As one contestant said “I just like being surrounded by people who like to cook.” Sesederhana itu.
Salut juga buat juri-jurinya, yang rela turun tangan saat ada anak yang kesulitan, dan selalu memberikan kritik yang membangun. Terkadang reality show semacam ini kan lebih suka menjual drama; yang penting ada nangis-nangis, tegang, terharu, tanpa memikirkan dampak psikologisnya ke kontestan. Tapi Junior Masterchef ini tampaknya cukup mempertimbangkan bahwa anak-anak ini masih dalam tahap perkembangan. Nggak pernah sekalipun ada celaan sadis atau overexpose terhadap aspek drama. Kalimat-kalimat yang dilontarkan selalu bernada positif dan menyemangati. And it’s only about the cooking. Resep, teknik, rasa. That’s it. Nggak ada cerita latarbelakang sedih macam di reality show lainnya. Purely the joy of cooking.
Dan tampaknya memang cuma itu yang penting. Mungkin Yoichi si anak cita rasa dan bocah-bocah Junior Masterchef ini memang beneran “born to cook”, dan saya tidak. So what? Toh enyak saya juga dulu sama sekali nggak bisa goreng tempe, dan sekarang jagoan setengah mati bikin lasagna, meski proses belajarnya sekian belas tahun.
Jadi berhubung tahun 2011 ini sama sekali belum bikin resolusi, ini resolusi pertama saya : kembali rajin masuk dapur. Saya akan berusahaaaaa *ala benteng takeshi*
2 replies on “Born to Cook”
Semangat untuk resolusinya ndied! Dulu ada temen gw yg notabene gadis minang asli (gak blesteran kayak gue), kata neneknya, cewe itu harus pintar di dapur dan di kasur (taaae), alhasil muncullah ketakutan di gw kalo cepat atau lambat, kejamnya hidup akan gw alami di dapur, hopefully not (terinspirasi dr nyokap lo yg awalnya jg gak bisa masak), hehe gw tiap kali lewat dapur pas nyokap goreng ikan, lewat kompor dan wajan itu, masih tutup kuping dan setengah ngibrit saking gw takut kecipratan minyak. Jadi, gw akan menciptakan resolusi sederhana dulu : taklukkan ketakutan akan cipratan minyak. Goodluck for us!
Bwaahahhahaaha… Kalo gadis minang asli harus gitu ya? Untung gw minang separo juga. Jadi boleh pilih salah satu aja kali ya… Hmmm mending dapur apa kasur ya? Wekekkeeke… Smangat in! Gw juga du takutnya stengah mati kcipratan minyak. Skrg udah nggak dong hehehe