Categories
Nonsense

Pada Sebuah Gedung

17 Desember. Sebuah pesan, muncul berkali-kali, bertubi-tubi dari berbagai jalur. Seperti tidak rela diabaikan.
“Alumni SMU TarQ 1! Besok 18 Des ke Puloraya jam 10 pagi, foto-foto sebelum direnovasi!”
Maka datanglah kami. Lima perempuan produk gedung itu.
Lalu mendadak diserang nostalgila. Gedung sialan yang sudah lapuk karena terlalu sering terendam banjir itu. Dari setiap sudutnya menelurkan butir-butir kenangan yang menyeret-nyeret kami dengan paksa ke satu dasawarsa yang lalu, dimana semuanya bermula.
Khusus untuk saya, aula besar di gedung ini adalah lemari besi kenangan saya. Ruangan yang tadinya saya akrabi hanya untuk formalitas latihan teater setiap hari Rabu, demi ada nilai ekstra kurikuler di raport. Rasanya dulu malaaassss setengah mati setiap kali mau latihan teater. Latihan mentalnya itu loooohhh…. Apakah ada maksud dan tujuan dari tugas-tugas absurd setiap minggunya? Apakah ada pentingnya mendengarkan suara orang berteriak-teriak dari penjuru kanan kiri depan dan belakang?
Tapi disini juga saya belajar berkomitmen terhadap sesuatu. Nggak cuma ambil enaknya aja, tapi paket keseluruhan. ….mmm tepatnya setelah ditegur oleh teman-teman satu angkatan, karena mereka bakal kena marah kalau anggota yang datang nggak lengkap… hehehehe… tapi ternyata teman-teman inilah yang selalu bersama saya hingga duabelas tahun ke depan.
Disini belajar resolusi konflik (etdziaaaaah) dengan adil dan beradab. Bahwa perbedaan bisa diselesaikan dengan baik, selama semua pihak mau membuka dialog dan menerima pendapat yang berbeda. Menekan ego dan kepentingan pribadi (terngiang kata-kata “pribadi lepas pribadi”) demi satu tujuan bersama.
Disini belajar bahwa tidak ada yang lebih berharga daripada teman yang mampu “mendengarkan” dan “menerima”.
Disini belajar menjadi perempuan yang menyetir nasib sendiri. Bukan semata puas disuapi mimpi orang lain.
Namanya sekolah perempuan semua, kayaknya nggak ada waktu dan tempatnya untuk bermanja-manja sama laki-laki untuk “eh tolong angkatin ini dooong”, “bantuin ini doooong”. Atau bergenit-genit berdandan supaya keliatan kece. Mau nampang sama sapaaaaa? Yang ada malah nggak mandi ke sekolah (contoh ekstrim, tapi sayangnya nyata terjadi), manjat-manjat stadion lebak bulus demi masang spanduk sponsor, demo berjemur berjam-jam di parkiran, dan entah apa lagi. Kelakuan macam begini buat saya masih suka kebawa-bawa sampai sekarang. Entahlah apa itu bagus atau nggak. Mungkin nggak sepenuhnya juga ya, mengingat sekarang di kantor banyak ibu-ibu yang suka gemes dan mengeluarkan pernyataan “dandan sedikit kenapa siiiiiih”. Kalau mau lebih dalam dari itu, beberapa hari lalu sempat ada diskusi mini dengan beberapa orang teman tentang perempuan yang terkadang ‘terlalu’ independen. Saya kasi tanda kutip disitu, karena sebenernya ‘terlalu’ itu tergantung dari perspektif mana memandangnya. Gimanapun juga kemandirian itu pastilah suatu hal yang positif. Self sufficient, self sustaining, berdiri di atas kaki sendiri dan tidak menggantungkan nasib pada orang lain. Cumaaaaa, terkadang orang seringkali salah kaprah tertukar dengan “sok mandiri”. Secara otomatis menolak bantuan dari orang lain semata-mata demi menunjukkan kekuatan diri. Namun bukankah itu sama saja dengan jeritan yang terlalu kencang untuk minta diakui?
Disini belajar mempertanyakan. Bukan semata puas atas jawaban normatif dan nyaman dalam ketidaktahuan.
Mungkin saya sudah tidak terlalu ingat rumus-rumus integral, persamaan limit, berhitung 1-(cosin α), tabel senyawa kimia, ancang-ancang tiger sprong, perbedaan aktiva-pasiva, dan entah apa lagi yang diajarkan di kurikulum saat itu. Tapi untungnya kami selalu ingat bahwa kami bisa menjadi apapun yang kami mau. Bahwa di luar sana ada banyak pilihan, bukan terbatas pada apa yang telah dipilihkan. Bahwa cita-cita untuk menikah dan mengurus anak, sama mulianya dengan cita-cita menjadi CEO, selama dilakukan berdasarkan pilihan dan bukan keterpaksaan.
Dan untungnya, kami punya satu sama lain. Tempat kami belajar, bercermin diri dan bertukar pikiran. Semua karena gedung ini. Maka biarkanlah kami sejenak tenggelam dalam romantika.

Posted with WordPress for BlackBerry.

By and.i.try

corporate slave by day. poet by night. rock chick by default.
eats cupcakes with a sip of nonsense.

2 replies on “Pada Sebuah Gedung”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s