Baca judulnya agak menyeramkan yahhh, padahal maksudnya nggak gitu.
Alkisah gw kembali berada di persimpangan-persimpangan yang selalu mencegat perjalanan hidup. Setelah bekerja hampir 3 tahun (yak 10 hari lagi genap 3 tahun sudah) di perusahaan ini, gw merasa sudah saatnya beranjak pergi. Sebenarnya perasaan ini sudah cukup lama ngintip-ngintip dari belakang kepala gw, tp selalu saja ada tantangan-tantangan baru, kesempatan-kesempatan baru yang membuat gw ingin meneruskan sedikiiiiit lagi.
Emang dasar kebutuhan gw akan pencapaian memang sedikit kurang normal, kalo ada yang nantangin malah gw yang rasanya nggak rela kalo dilepas gitu aja. Kalahkan! Buktikan! MERDEKA! Bwahahahaahaha. Ups.
Tapi kali ini gw sudah hampir sampai batas.
Apa sih yang membuat orang puas dengan pekerjaannya? Buat gw, nomor 1 adalah aktualisasi diri. Ketika gw tahu bahwa gw punya kontribusi yang signifikan. Ketika gw tahu bahwa gw telah membuat perbedaan. Ketika gw tahu bahwa gw telah berhasil menyebarkan sedikit energi positif kepada semesta, berdasarkan nilai-nilai yang gw percaya baik. Tapi kita semua tentu tahu bahwa seorang budak korporasi tidak leluasa begitu saja membuat kebijakan atau program sesuai idealisme. Jadi, coret nomor 1.
Nomor 2 buat gw adalah work-life balance. Karena kalau memang kita tidak bisa beraktualisasi di institusi kita bekerja, maka gunakanlah waktu luang untuk mencapai kepuasan batin. Entah misalnya menyalurkan hobi memasak, membaca, nonton film, mengajar, suka-sukalah. Tapiiiii lagi-lagi yang namanya budak tidak punya hak atas waktunya sendiri. Jadi silakan lupakan kata-kata ‘8 to 5’ dari agenda anda. Instead, masukkan kata-kata ‘as required by project’ sebagai jam kerja anda.
Nomor 3 adalah -tentunya- kompensasi yg gw dapet. Namanya budak pasti bekerja untuk upah, untuk melakukan titah majikan. Bener nggak bener, hajar. You are paid to do, not to think. (Ini ekstrimnya ya).
Karena gw tahu bahwa di dunia ini gak ada yang sempurna, maka gw tentunya gak akan ngotot dengan idealisme gw tanpa mengharapkan upah. Kecuali mungkin gw udah punya duit cukup untuk tujuh turunan.
Gw bersedia kok berkompromi untuk keseimbangan atas ketiganya. Tapi ketika gw merasa trade off antara faktor-faktor itu mulai gak seimbang seperti sekarang ini, saatnya untuk melangkah lagi.
Tapi gw tau bahwa kalau gw pindah ke industri dan posisi yang sama, hidup gw gak akan jauh berbeda. Tetap aja ga punya waktu utk teman dan keluarga, apalagi diri sendiri.
Sedangkan untuk pindah ke industri atau posisi lain, pengalaman gw sejak lulus baru disini aja. And so here I am, di persimpangan kesekian dalam hidup.
Di persimpangan-persimpangan sebelumnya, gw selalu memilih pilihan yang lebih aman. Lebih logis. Kuliah di Jakarta atau Bandung? Jakarta aja supaya nyokap gak khawatir.
Ambil jurusan yg lebih umum atau yg agak spesifik? Ambil yg umum aja biar gampang cari kerja.
Nglanjutin kerja sosial ke daerah konflik atau korporasi? Korporasi aja yang lebih jelas masa depannya. Dan lihat dimana gw sekarang.
Pada titik dimana jiwa senantiasa gelisah.
Makanya gw bilang perilaku menyimpang.
I hope I make the right choice on this one.
5 replies on “Perilaku Menyimpang”
bijak skali kau memaknai dan menjalani hidup,
saya saja kadang masih suka ngeyel dan berontak
salut buat kau,
salam !
menjalani hidup seperti air mengalir, susah.
memilih takdir kita sendiri, lebih susah lagi, ya ndied?
gue sering tuh di persimpangan jalan. emang hidup gak menyediakan jalan tol. hehe
semangat andied 🙂
Hello Tante, temen kantornya mama ya,,yess, I’m Mrs. Runny Adi 1st daughter :). thanks for visiting my blog, Tante. Kok tiba2 tau aku anaknya?
Iyaah..umm aku panggil apa donk hehehe.,salam balik dari mama. hehehe sejak di featured sama Nina di tweet jadi rame blog ku hehee *senang*, aku dapet stock terakhir jersey dressnya soalnya 🙂
hahaha.. duh pemikiran ‘penyimpang’ ini kayanya banyak mengenai rekan-rekan kita juga ndied… termasuk saya.