Pagi ini gue disuruh nyokap bikin pancake buat sarapan sekeluarga. Sebenernya bukan hal yang terlalu istimewa karena toh gue cukup sering bikin pancake. Satu hal yang berbeda adalah, kalau biasanya adonan gue bikin sendiri dari nol (tepung, baking soda, dst dst), maka kali ini pake adonan instan.
Kalau boleh jujur, hasil akhirnya enak sekali. Aromanya lebih wangi dan adonan lebih empuk daripada yang biasa gue buat. Tapi toh ketika orang rumah memuji masakan gue, sedikitpun gue gak bangga. Kenapa? Karena disana peran gue hanya sebagai tukang. Tukang goreng tepatnya.
Apalagi yang penting dari makanan kalau bukan rasa dan aroma? Kedua hal itu munculnya dari proses pengadonan, serta pengolahan. Untuk pancake yang pengolahannya gampang setengah mati (panasin wajan, kasih mentega, tuang adonan, angkat), maka jelas kalau proses mengadon yang penting untuk menimbulkan rasa dan aroma yang diinginkan. Berhubung proses pengadonan dilakukan di pabrik Pancake Mix Instan tersebut, jelas dong, betapa gue gak punya kontribusi signfikan dalam membuat pancake tersebut jadi enak?
Kalau dipikir2, memang gue orangnya seperti itu. Pada saat gue menyelesaikan suatu project, mau dikate itu projectnya berhasil banget, keren banget, impactnya besar banget, tapi kalau gue disana semata-mata ‘nukang’, nggak akan deh gue merasa bangga. Kenapa? Karena gue merasa project itu bukan punya gue. Ada penggagas empunya project ini, sementara saya kebagian disuruh-suruh ini itu sesuai dengan maunya yang empunya.
Memang bukan berarti tidak berkontribusi, gue tau bahwa di project itu ada juga sebagian darah keringat dan air mata gue terlibat. Tapi sebagai tukang, kita selalu mengikuti apa kata penggagas. Si perancang yang empunya konsep. Yang melahirkan bibit ide. Alhasil, kalau si penggagas bodoh (misalnya), maka project akan selesai sebagai project yang bodoh. Kalau si penggagas pintar, project akan selesai sebagai project yang pintar dan mengagumkan. Meskipun, sekali lagi, bukan punya saya.
Bukan berarti tukang adalah profesi kelas 2. Gue sama sekali nggak setuju. Tingkat craftsmanship yang tinggi adalah sesuatu yang sulit dicapai dan membutuhkan kedisiplinan tinggi. Justru menurut gue yang namanya penggagas harus selalu berkonsultasi dulu dengan tukangnya untuk tahu apakah mungkin atau nggak project itu dilakukan. Lebih bagus lagi kalau berkolaborasi dari awal. Yang satu memikirkan segi desain dan konsep, sementara yang satunya menjaga dari sisi teknis.
Maka jangan salahkan gue kalau gue nggak mau cuma jadi tukang jait, yang ngikutin apa mau loe dengan membabi-buta.
2 replies on “Ownership”
Happy blogoversary!
ah mau donk dibuatin.. hehehe…