—Posting ini sudah terlalu lama di folder draft, dan saya lupa terus menyelesaikannya sampai akhirnya seorang teman menulis tentang film ini juga.
Belakangan ini kayaknya banyak orang yang semangat nasionalismenya sedang ‘berkobar-kobar’. Mungkinkah karena bulan Agustus?
Beberapa minggu lalu saya menonton salah satu film perjuangan Indonesia. Sepertinya selain film G30S PKI dan film Naga Bonar yang pertama, baru ini film bertemakan perjuangan yang saya tonton. Maka jangan heran kalau ekspektasi saya cukup tinggi. Apalagi dengan pemberitaan di TV bahwa anggaran pembuatannya cukup bombastis.
Saya tidak akan bicara tentang efek khusus ledakan-ledakan super dahsyat (yang saya curigai memakan sebagian besar anggaran yang bombastis itu).
Saya sangat ingin mengatakan bahwa Merah Putih berhasil memenuhi harapan saya. Sangat ingin. Dengan setting situasi keragaman latar belakang sosial ekonomi dan budaya di antara para pejuang, sebenarnya banyak potensi konflik yang bisa digali. Tapi konflik terselesaikan dengan terlalu buru-buru dan simplistik. Seperti film televisi di bulan Ramadhan yang terlalu dengan pesan moral eksplisit.
Dialog yang timbul pun terasa tersendat dan kurang membumi (setelah saya tahu bahwa naskah sebenarnya dikerjakan oleh orang asing dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, saya baru paham kenapa). Tapi yang saya tidak paham, kenapa naskah dibuat oleh orang asing? Kurang banyakkah penulis Indonesia yang bagus?
Tapi yah sudahlah, setidaknya masih ada yang berusaha membuat film Indonesia dengan tema yang tidak itu-itu saja. Dan toh ini adalah film pertama dari sebuah trilogi (rencananya), jadi saya sangat sangat berharap -dan tentunya tetap menantikan- film kedua dan ketiga.
Dan semoga pembuat film Indonesia lainnya insyaf untuk tidak membuat film-film horor bodoh yang membuat kita semakin bodoh.
Amin.