Terkadang dalam hidup kita tidak bisa selalu menang. Di saat-saat tak terduga, keadaaan menampar kita keras-keras hingga jatuh tersuruk. Mungkin justru saat-saat seperti inilah manusia sebenarnya beruntung. Kita kembali diingatkan dan diberikan kesempatan untuk menyadari betapa kita ini hanya setitik kecil dari sebuah rancangan besar bernama semesta.
Di tengah carut marut hari-hari kita, seringkali sangat mudah untuk kehilangan perspektif tentang siapa kita sebenarnya. Hal ini pun gue alami belakangan ini. Ketika banyak waktu dan tenaga yang ‘dicuri’ dari gue, maka kelelahan dan keletihan menjadi sangat dominan di keseharian gue. Terlalu dominan sehingga kemudian menjadi sulit mengapresiasi hal-hal kecil yang diberikan kepada gue di setiap detik menit keberadaan gue di dunia ini.
Biasanya teman-teman gue lah yang bisa menjadi cermin diri gue. Mereka yang akan pasang spanduk demo besar-besar kalau gue mulai menyebalkan, mereka juga yang akan mengajak gue mentertawakan suatu masalah kalau menurut mereka emang gak penting-penting amat. Tapi manusia berusia duapuluhan (usia produktif katanya) tentu tahu kalau produktivitas kita akan diperas sampai titik darah penghabisan hingga tiba generasi pengganti suatu hari nanti. Jadi satu persatu teman-teman terbaik telah berpencar ke berbagai penjuru dunia dengan zona waktu yang berbanding terbalik. Amerika, Singapura, Makasar, di sana teman-teman terbaik saya berada. Begitupun Kuningan Sunter Bendungan Hilir dan Pancoran, meskipun terbilang cukup dekat namun selalu saja ada kesibukan yang menghalangi.
Untunglah ada my significant other, yang senantiasa membuat gue berhasil menjaga sisa-sisa kewarasan gue.
Eh ternyata baru-baru ini gue lagi naik taxi dan seperti biasa Jakarta dilanda kemacetan. Paling enak memang waktu yang ‘tersia-sia’ seperti ini dipakai untuk bengong-bengong dan membiarkan pikiran berkelana sejadi-jadinya. Tapi karena lagi begitu banyak urusan yang berteriak-teriak di kepala gue minta dikasih perhatian lebih dulu, akhirnya rencana bengong ria itu gagal total. “Macet ya Mbak” kata supir taksinya. “Iya”, gue menjawab seadanya, udah tau macet kok pake diumumin lagi. Tapi terus gue jadi inget kebiasaan gue dulu kalau naik taksi, yaitu suka ngajak ngobrol supir taksinya. Soalnya dulu kan gue belum terlalu sering naik taksi-berwarna-biru-yang-cukup-terjamin-keamanannya-itu, jadi suka takut dapat supir taksi kriminil macam di koran-koran. Untuk mengantisipasi hal-hal buruk terjadi ke gue, biasanya gue selalu ngajak ngobrol, tanya2 tentang keluarganya, supaya dia inget bahwa dia punya keluarga, supaya dia juga jadi mikir dulu sebelum berbuat jahat, siapa tau dia jadi gak tega sama gue karena inget anaknya atau istrinya. Entah taktik gue berhasil atau memang gue beruntung selalu dapet supir taksi yang lurus hatinya, tapi alhamdulillah sampe sekarang gak ada kejadian aneh-aneh yang gue alamin selain beberapa hal kecil macam yang nyetirnya sambil ngantuk atau ngomel-ngomel karena gue naik buat jarak dekat 😛
Jadi gue memutuskan untuk tetap ngobrol aja sama bapak supir taksi yang kita sebut saja bernama Pak Ujang. Pak Ujang ini, setiap hari katanya menjalani jadwal yang sama. Pagi-pagi berangkat ke pool dianter istrinya (dia keukeuh harus pagi-pagi banget nyampe pool biar gak kena macet untuk jalan ke tengah kota). Terus dia akan narik sampai paling malem jam 10, pulang ke rumah, nyuci baju, dijemur, dan nyetrika baju untuk keesokan paginya. Begitu terus setiap hari.
Setiap hari libur, dia mengambil sedikit demi sedikit baju yang dijemur istrinya, lalu disetrika sampai akhirnya jemuran habis. Hobinya menyetrika, dan dia sangat menikmati setiap detil kegiatan tersebut. Dia merasa sangat puas kalau hasil setrikanya licin, dan sangat suka bau cairan pelicin yang dipakainya. Hanya satu yang dia tidak suka, menyetrika ‘baju perempuan’ (istilah yang dia gunakan untuk baju istrinya yang berbahan halus dan banyak detil yang membuat menyetrika menjadi pekerjaan rumit).
Dia berulang kali memuji salah satu operator telpon yang menyediakan tarif sangat murah. Membuat dia bisa membangunkan anaknya yang terkadang malas sekolah, mengingatkan mereka untuk ngaji di sore hari dan mengucapkan selamat tidur ketika dia belum pulang. Dan dia tidak perlu keluar uang banyak untuk membeli pulsanya maupun handsetnya.
Dia tidak membolehkan anaknya punya handphone yang dilengkapi kamera, karena menurut dia handphone seharusnya digunakan untuk menelepon dan sms, bukan foto-foto. Dia takut anaknya ter-expose kepada ‘gambar-gambar nggak bener’ dan jadi terinspirasi untuk melakukan ‘hal-hal nggak bener’ (jadi inget lagunya efek rumah kaca yang kenakalan remaja di era informatika…) Dia tidak membolehkan anaknya membawa handphone ke sekolah, karena menurut dia sekolah itu tempat belajar dan bermain sehingga tidak butuh telpon-telponan.
Dan dia terus bercerita sampai akhirnya saya sampai di rumah.
Saya lalu jadi mengingat-ingat, bahwa selama ini ada banyak Pak Ujang-Pak Ujang lain yang saya jumpai, masing-masing bercerita tentang hidupnya, cita-citanya dan keluarganya. Ada yang senang main tebak-tebakan sepanjang perjalanan, ada yang melawak terus-terusan (padahal lawakannya gue juga udah denger semua), ada yang ternyata di hari itu adalah minggu terakhirnya sebagai seorang supir taksi.
Yang terakhir gue sebut ini cukup istimewa juga. Peristiwanya beberapa bulan lalu. Gue naik taksi ke rumah seorang teman, dan seperti biasa ngobrol dengan bapak supirnya. Gue sangat terkesan dari awal, karena bapak ini sangat sopan, membukakan pintu buat gue, menawarkan untuk membawakan barang, dan penampilannya sangat rapi dan cukup terpelajar.
Setelah ngobrol cukup lama, ternyata bapak itu lulusan S2 perbankan. Sempat beberapa tahun menjadi pegawai kantoran kemudian memutuskan untuk berwirausaha. Sayangnya dia ditipu seorang rekan bisnis, sehingga bisnisnya jatuh. Setelah itu sempat menganggur beberapa lama, dan akhirnya menjadi supir taksi. Saya cukup salut pada bapak ini, karena dia tidak membiarkan gengsi mengalahkan dirinya. Berapa banyak sih lulusan S2 yang mau jadi supir taksi? Gue pernah ketemu beberapa supir taksi yang lulusan S1, dan mereka semua biasanya bercerita tentang nasibnya dengan nada pahit dan (sedikit) minta dikasihani. Tapi bapak ini tidak, ketika dia memutuskan untuk menjadi supir taksi, dia melakukannya dengan sepenuh hati.
Belum selesai gue mengagumi dia, dia kembali bercerita. Katanya minggu depan dia akan memulai pekerjaan baru. “Di mana Pak?” gue tanya. “Di Bank XXXX”, katanya menyebut sebuah bank lokal yang belakangan ini berkembang cukup pesat. “Posisinya apa pak?”tanya gue lagi. “Customer Relations Mbak, tapi untuk nasabah VIP”, jawab dia. Wah, semakin kagum aja gue sama bapak ini. Kalau dilihat umurnya, sudah sekitar 40an. Biasanya umur segitu orang sudah pasrah sama kerjaaan yang sedang dijalani, tapi dia terus berusaha mencari yang lebih baik. “Targetnya gede pak?” selidik gue lagi. “Gede banget sih Mbak. Tapi waktu interview, saya bilang sama bulenya yang interview saya : kalau saya bisa bangkit lagi dari kebangkrutan, masa saya gak bisa mencapai target segitu? Eh gak taunya saya diterima Mbak”, jawabnya.
hmmmm…. these are the wisdom of taxi drivers….
Memang menyenangkan untuk terus mengenal orang-orang baru, dan mengupas kisah hidup mereka sedikit demi sedikit…
One reply on “The Wisdom of Taxi Drivers”
Ndied… gw suka tulisan ini… memang banyak wisdom yg bisa didapet dari orang2 yg biasa “melayani” kebutuhan kita… kalo saja kita terus terbuka utk ngobrol sedikit sm mereka… hehehe Good story u hv there… Hidup menulis…!